Beranda | Artikel
Kepemimpinan Menurut Dalil Syari dan Ketetapan Para Ulama
Jumat, 31 Agustus 2018

BEBERAPA MASALAH PENTING SEPUTAR KEPEMIMPINAN YANG DIPAHAMI DARI DALIL-DALIL SYAR’I DAN KETETAPAN PARA ULAMA

MASALAH PERTAMA
Sebuah Kepemimpinan (wilayah) dianggap sah dan diberlakukan hukum-hukumnya dengan salah satu dari tiga cara yaitu:

1. Dibai’at (janji setia untuk taat) oleh Ahlul hal wal ‘Aqdi
Sebagaimana bai’atnya para Sahabat kepada Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu

2. Dipilih oleh pemimpin sebelumnya
Sebagaimana yang dilakukan Abu Bakr Radhiyallahu anhu ketika memilih Umar Radhiyallahu anhu . Para Ulama telah sepakat atas bolehnya cara ini.

3. Penaklukkan

Apabila ada seorang laki-laki Muslim yang berupaya meraih tampuk kepemimpinan, lalu dia berhasil menaklukkan masyarakat dengan kekuatan dan bala tentaranya, maka kepemimpinannya dianggap sah, agar terjaga keutuhan urusan kaum Muslimin.[1]

Maka, kapan pun ada seorang laki-laki yang berhasil menguasai kaum Muslimin dengan salah satu dari tiga cara di atas, maka dialah pemimpin syar’i yang berlaku untuknya hukum-hukum kepemimpinan dan wajib didengar serta ditaati sesuai dengan ketentuansyari’at.

MASALAH KEDUA
Taat kepada pemimpin termasuk perbuatan taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, durhaka kepada pemimpin termasuk perbuatan durhaka kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Seorang Mukmin hendaknya berharap pahala dari perbuatannya yang mentaati pemimpin, sebagaimana ia berharap pahala dari perbuatan taatnya kepada Allâh dan Rasul-Nya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

Barangsiapa menaatiku maka sungguh ia telah menaati Allâh. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allâh. Dan barangsiapa yang menaati pemimpin maka sungguh ia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada pemimpin, maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku.[2]

MASALAH KETIGA
Ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya merupakan ketaatan yang bersifat independent (mutlak), dan apa yang datang dari Allâh dan Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dibenturkan dengan apapun juga, bahkan al-Quran dan as-Sunnah merupakan sumber hukum syariat.

Maka yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allâh dan Rasul-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allâh dan Rasul-Nya. Sedangkan ketaatan kepada pemimpin, maka dia ditaati dalam rangka taat kepada Allâh, dan dia tidak boleh ditaati dalam hal kemaksiatan kepada-Nya. Perintah seorang pemimpin bukan merupakan pensyariatan, sehingga adakalanya benar dan adakalanya salah. Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4:59]

Dalam ayat ini Allâh menyebutkan kata perintah “taatilah” dalam konteks ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan ketaatan kepada Rasul-Nya, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyebutkan lagi kata perintah tersebut  dalam konteks ketaatan kepada ulil amri (penguasa/pemimpin), tetapi menjadikan ketaatan kepada ulil amri ini mengikuti ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya. Maka Allâh membedakan antara ketaatan secara mutlak kepada Allâh dan Rasul-Nya dengan ketaatan kepada ulil amri yang bersifat muqayyad (terikat). Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan yang terjadi kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya setelah perintah untuk taat kepada ulil amri, sebagai penguat prinsip makna sebelumnya. Wallâhu alam.

MASALAH KEEMPAT
Mendengar dan taat kepada pemimpin semata-mata disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) umat.

Karena itulah umat diperintah untuk mendengar dan taat kepada pemimpin, baik ketika suka atau tidak suka, mendahulukan perkataannya ketika terjadi perselisihan dalam perkara ijtihad- sebagaimana akan datang penjelasannya-, bersabar atas kezalimannya, diharamkan keluar dari ketaatan kepadanya meski dia seorang yang fasik (pendosa). Semua ini tidak dilakukan kecuali karena ada manfaat umum yang akan kembali kepada umat itu sendiri. Dan manfaat umum harus lebih didahulukan daripada manfaat khusus, baik manfaat khusus untuk pemimpin itu sendiri, maupun manfaat khusus untuk sebagian anggota masyarakat.

Inilah yang nampak jelas dari pokok ajaran syariat Islam, yaitu tidak mungkin maslahat satu orang atau beberapa orang lebih didahulukan daripada maslahat umat secara keseluruhan. Bahkan di antara kaidah yang telah baku dalam agama Islam bahwa maslahat umum lebih didahulukan daripada maslahat khusus.

Imam asy-Syâthibi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya maslahat umum lebih didahulukan daripada maslahat khusus, dengan dalil terlarangnya mencegat barang dagangan dan terlarangnya orang kota menjualkan barang orang pedalaman…[3]  yang mana hal itu mengharuskan kita lebih didahulukannya maslahat umum daripada maslahat khusus, dengan tidak memudaratkan (merugikan) yang khusus.”[4]

Oleh karena itu, tampak jelas bahwa manfaat mendengar dan taat kepada pemimpin akan kembali kepada umat itu sendiri. Dengannya urusan agama menjadi tegak dan keadaan dunia menjadi baik. Sementara, keluar dari ketaatan (membangkang) kepada pemimpin pada hakikatnya bukanlah kerugian untuk pemimpin -sebagaimana sangkaan sebagian orang – akan tetapi, sejatinya itu adalah kejahatan kepada umat dan menelantarkan maslahat agama dan dunia mereka.

Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu berkata, “Islam tidak akan tegak kecuali dengan jamaah, dan jamaah tidak akan tegak kecuali dengan pemimpin, sedangkan pemimpin tidak akan tegak kecuali dengan ketaatan kepadanya.”[5]

Dan al-Afwah al-Audi berkata:

لَا يَصلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لَا سَرَاةَ لَهُمْ

                                      وَلَا سَرَاةَ إِذَا جُهَّالَهُمْ سَادُوا

Manusia tidak akan menjadi baik bahkan akan kacau tanpa pemimpin
Dan dianggap tidak ada pemimpin jika orang-orang bodoh mereka yang memimpin[6]

MASALAH KELIMA
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersabar menghadapi pemimpin, dengan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ

Barangsiapa mendapati sesuatu yang tidak dia sukai pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar.[7]

Lalu mengabarkan tentang keadaan orang yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin dengan sabdanya:

فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا، فَمَاتَ عَلَيْهِ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Karena tidak ada seorang pun yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin meski hanya sejengkal, kemudian ia mati, kecuali ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.[8]

Sementara para penyeru fitnah di zaman ini mengajak untuk keluar dari ketaatan kepada pemimpin dan mengatakan bahwa bersabar menghadapi pemimpin merupakan kelemahan dan kehinaan.

Maka, kami persilahkan setiap Mukmin yang objektif memilih siapa yang hendak dia taati dan dia benarkan ajakannya!! (Ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah seruan para penyeru yang menyuarakan penentangan kepada ulil amri-red)

MASALAH KEENAM
Jika pemimpin memiliki kekurangan dalam menunaikan hak rakyat, maka rakyat tidak boleh membalas dengan mengurangi hak pemimpin atas mereka di dunia.

Adapun di hari kiamat kelak, maka setiap manusia akan ditanya tentang kewajibannya. Dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjawab orang yang bertanya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Nabi Allâh! Bagaimana jika di antara kami ada pemimpin yang meminta hak mereka namun tidak memberikan hak kami, apa yang harus kami perbuat?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Tetap dengar dan taatlah kalian! Sesungguhnya kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka, dan kewajiban kalian adalah apa yang dibebankan kepada kalian.[9]

MASALAH KETUJUH
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang pelanggaran seorang pemimpin dalam sabdanya:

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ

Sungguh akan ada para pemimpin kalian, yang kalian mengetahui (sebagian) perbuatannya memang ma’ruf (baik secara syariat), namun ada pula perbuatannya yang kalian ingkari (karena kemungkarannya).[10]

Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang beberapa sikap manusia dalam menghadapinya dalam sabdanya:

فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

Barangsiapa yang membenci (pelanggaran itu dengan hatinya) maka ia telah terbebas (dari dosa). Dan barangsiapa yang mengingkarinya (sesuai kemampuan) maka ia telah selamat (dari maksiat). Namun barangsiapa yang ridha dan mengikutinya, (maka sungguh ia telah bermaksiat).[11]

Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan empat sikap manusia dalam menghadapi pelanggaran pemimpin dan menjelaskan masing-masing hukumnya:

1. Yang membenci dan berlepas diri.
Yaitu orang yang membenci pelanggaran dengan hatinya dan tidak mampu untuk mengingkari dengan lisannya.[12] Mereka ini telah berlepas diri dari pelanggaran itu dan dimaafkan atas ketidakmampuannya mengingkari secara lahir.

2. Yang mengingkari yang selamat.
Yaitu orang yang mengingkari pelanggaran sesuai kemampuannya.[13] Mereka ini selamat dari pelanggaran itu dan selamat dari tidak mengingkarinya.

3. Yang ridha yang mendapat hukuman.
Yaitu orang yang ridha dengan pelanggaran itu tanpa melakukannya. Maka dia dihukum karena keridhaannya kepada pelanggaran itu, meski tidak melakukannya.

4. Yang mengikuti yang berdosa.
Yaitu orang yang mengikuti pelanggaran itu. Mengikuti, maksudnya ialah berlebihan dalam menyetujui dan ini menunjukkan adanya persetujuan, baik dengan hati (menjadi niatan hatinya) maupun dengan perbuatan.[14] Maka dia dihukumi sama dengan pelakunya dalam niat, perbuatan, dan dosa.

MASALAH KEDELAPAN
Adanya kelaziman (korelasi) antara keluar dari ketaatan kepada pemimpin dengan memisahkan diri dari jamaah kaum Muslimin.

Seseorang bisa menjadi pemimpin karena adanya bai’at dari jamaah. Maka keluar dari ketaatan kepada pemimpin berarti menyelisihi jamaah. Dan jamaah tidak akan langgeng kecuali dengan adanya pemimpin, sebagaimana perkataan Umar Radhiyallahu anhu di atas, “Jamaah tidak akan tegak kecuali dengan pemimpin.”[15]

Oleh karena itu, terdapat penggabungan antara keduanya di dalam beberapa nash, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada pemimpin) dan memisahkan diri dari jamaah, lalu mati dalam keadaan itu, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.”[16]

Dan juga dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu anhu :

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ

Berpegang teguhlah pada jamaah kaum Muslimin dan pemimpin mereka.[17]

MASALAH KESEMBILAN
Perbandingan antara dua jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang keluarnya seseorang dari ketaatan kepada pemimpin, yang dalam hadits Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيهِ بُرْهَان

Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki buktinya dari (agama) Allâh akan hal itu.[18]

Dan dalam hadits Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjawab:

لَا، مَا صَلَّوْا

“Jangan. Selama mereka masih shalat.”[19] ;

Ini merupakan dalil atas kafirnya orang yang meninggalkan shalat, dan bahwasanya hal itu merupakan kekufuran yang nyata.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Ini menunjukkan bahwa barangsiapa meninggalkan shalat dan tidak menegakkannya, maka sungguh ia telah melakukan kekufuran yang nyata.”[20]

MASALAH KESEPULUH
Dalam hadits al-‘Irbadh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ

Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allâh dan mendengar serta taat (kepada penguasa) meski yang menguasai kalian adalah seorang budak.”[21]

Dan dalam riwayat at-Tirmidzi:

وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ

meski budak habasyi.”[22]

di dalamnya terdapat dalil atas diakuinya kepemimpinan dan hukum-hukumnya dengan cara “mengalahkan atau menguasai”. Hal itu dipahami dari sabda beliau, ” meski yang menguasai kalian.” Sabda beliau ta’ammara [menguasai] berarti menguasai dengan upaya dirinya tanpa ada yang memilihnya. Dan telah datang riwayat yang menegaskan hal ini dalam hadits yang lain:

مَنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ مِنْ غَيْرِ مَشُوْرَةٍ

Barangsiapa yang menguasai kalian tanpa musyawarah….”[23]

Dan dalam sabda beliau “budak” dan “habasyi” menunjukkan tidak dianggapnya syarat terpilihnya seorang pemimpin untuk seseorang yang menjadi pemimpin dengan cara mengalahkan. Bahkan wajib ditaati karena kemenangannya meski sebagian syarat kepemimpinan tidak terpenuhi. Sebab “budak” tidak memenuhi syarat harus merdeka, dan “habasyi” tidak memenuhi syarat harus orang Quraisy.

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Jika ada yang berkata, ‘Bagaimana mungkin seorang budak bisa menjadi pemimpin sedangkan syarat seorang pemimpin itu harus merdeka dan berasal dari kabilah Quraisy serta tidak cacat?’ Maka jawabannya ada dua:

Yang pertama: sesungguhnya syarat-syarat itu dan syarat-syarat lainnya, adalah syarat bagi orang yang diangkat menjadi pemimpin dengan cara dipilih oleh ahlul halli wal aqdi[24]. Adapun orang yang mampu menaklukkan manusia dengan persenjataan dan kekuatannya serta bala tentaranya, kemudian menguasai mereka dan menobatkan diri sebagai pemimpin, maka hukum-hukum kepemimpinan berlaku padanya, wajib menaatinya dan haram menyelisihinya pada selain kemaksiatan, baik dia seorang budak atau seorang yang merdeka, bahkan seorang fasik (pendosa), dengan syarat dia masih muslim.

Jawaban kedua: dalam hadits tidak disebutkan bahwa budak itu menjadi pemimpin. Namun dimaknai sebagai budak yang diserahi tugas oleh pemimpin untuk memerintah dalam urusan tertentu, atau menunaikan hak tertentu, atau yang semisalnya.”[25]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Raudhatuth-Thâlibin karya Imam Nawawi (10/46), dan al-Ahkâm as-Sulthâniyyah karya Imam al-Mâwardi hlm. 21
[2] HR. al-Bukhâri 2957 dan Muslim 1835
[3] Maksud mencegat barang dagangan adalah membeli barang dari penjual di tengah perjalanan penjual menuju pasar; sedangkan terlarangnya orang kota menjualkan barang orang pedalaman maksudnya orang kota setempat menjualkan barang orang pedalaman dengan menunggu masa naiknya harga barang tersebut (pen.)
[4] Al-Muwâfaqât (3/57)
[5] HR. ad-Dârimi (1/315) no. 257
[6] Al-‘Iqdul-Farîd (1/11)
[7] HR. al-Bukhâri 7053 dan Muslim 1849
[8] Ibid
[9] HR. Muslim 1846
[10] HR. Muslim 1854
[11] Ibid
[12] Lihat Syarh an-Nawawi atas Shahih Muslim (12/243)
[13] Lihat Syarh an-Nawawi atas Shahih Muslim (12/243), dan Syarh Riyâdhis-Shâlihîn karya Ibnu ‘Utsaimin (2/435)
[14] Di antara contohnya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta.” (HR. al-Bukhâri 7320). Sedangkan mutaba’ah (mengikuti) konsekuensi maknanya seperti disebutkan di atas. Seperti halnya mutaba’ah (mengikuti) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu kuatnya semangat untuk mencocoki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam niat maupun perbuatan. Syaikhul Islam berkata ketika mendefinisikan makna mutaba’ah: “Dan mutaba’ah yang disyariatkan ialah melakukan sesuatu sesuai dengan yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan tujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.” (Majmû’ al-Fatâwâ 24/248)
[15]  HR. ad-Dârimi (1/315) no. 257
[16] HR. Muslim 1848
[17] HR. al-Bukhâri 3606, dan Muslim 1847
[18] HR. al-Bukhâri 7056, dan Muslim 1709
[19] HR. Muslim 1854
[20] Fatâwâ Nûr ‘ala ad-Darb oleh Ibnu Baz yang dikumpulkan oleh asy-Syuwai’ir (7/223)
[21] HR. al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubrâ (10/195) no. 20338, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ir’ul Ghalîl (8/107) no. 2455
[22] HR. at-Tirmidzi (5/44)
[23] Disebutkan oleh Ibnul Atsîr dalam an-Nihâyah fî Gharîibil Hadîts (1/142)
[24] Mereka adalah para tokoh dari kalangan ulama, pembesar kaum dan tokoh berpengaruh yang menjadi rujukan dalam berbagai peristiwa dan kemaslahatan umat. (pen.)
[25] Syarh an-Nawawi atas Shahih Muslim (5/149)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9742-kepemimpinan-yang-dipahami-dari-dalil-dalil-syari-dan-ketetapan-para-ulama.html